Guru dan Orang Tua yang Jahat: Menguak Sebuah Fakta dalam Pendidikan
Pendidikan sebenarnya untuk siapa? Inilah pertanyaan yang tepat untuk membuka pintu hati guru dan orang tua. Guru dan orang tua esensinya memang memiliki peran yang sangat urgent dalam pendidikan anak, akan tetapi fakta semacam ini menciptakan gejolak berkepanjangan, yakni sebuah anggapan bahwa pendidikan anak harus mengikuti instruksi orang tua dan guru. Artinya segala yang berkaitan dengan anak dalam pendidikan harus sesuai dengan keinginan guru dan orang tua yang diyakini sebagai otoritas tertinggi.
“Nak kamu harus ikut les bahasa, nak kamu harus jadi penghafal yang hebat, nak kamu harus jadi dokter” sebuah ilustrasi instruksi orang tua yang memaksa anaknya untuk mengikuti semua keinginannya dan menafikan, bahwa anak juga memiliki impian dan cita-cita sendiri. Mengapa ini bisa terjadi? Ketakutan dan gengsi yang berlebihan dari sebuah lembaga dan orang tua lah yang mengakibatkan hal semacam ini muncul dalam dunia pendidikan.
Baca Juga:
Dalam pendidikan tidak ada kata keterpaksaan, siswa sebagai subjek atau pelaku utama dalam pendidikan harus memiliki kesejahteraan, kemerdekaan, dan hak prerogatif dalam memilih dan mengembangkan bakat yang mereka minati. Terdengar liberal memang, namun faktanya memang demikian, bahwa siswa bukanlah adonan semen yang dapat dicetak sesuka hati. Mereka merupakan manusia yang kompleks, maka artinya setiap siswa itu memiliki minat dan bakat masing-masing.
Terkadang orang tua lupa akan perannya sebagai motivator sang anak dalam belajar, mereka justru mengambil alih pendidikan yang seharusnya diperankan oleh sang anak. Sang anak dituntut untuk terus mengikuti keinginan orang tua demi membanggakan dan mengharumkan nama orang tuanya, akan tetapi mereka abai terhadap perasaan dan keadaan anaknya. Apakah sang anak benar-benar merasa merdeka ketika terus mengikuti instruksi pembelajaran dari orang tua atau malah mereka tertekan. Hal semacam ini tidak pernah direnungkan.
Begitupun lembaga pendidikan, mereka yang selalu menuntut agar siswa-siswanya mengikuti segala tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan dengan standar pemikiran mereka, dengan standar keinginan mereka. Sejauh ini hanya satu yang paling diinginkan oleh lembaga pendidikan, yakni bagaimana mencetak siswa-siswanya agar dapat mengharumkan nama sekolah. Tujuannya apa? Yaah, agar kualitas sekolah semakin tinggi dan jika sudah maka otomatis peminatnya akan lebih banyak dan pundi-pundi rupiah pun juga banyak.
Baca Juga:
Terkesan berlebihan, namun inilah fakta dalam pendidikan! Lembaga pendidikan hanya fokus dalam meningkatkan citra dan marwah lembaga. Aturan demi aturan dibuat dengan modus menertibkan, namun nyatanya hasilnya tetap nihil. Tidak tahu atau tidak mau tahu bahwa lembaga pendidikan merupakan wadah untuk anak-anak belajar, bukan sebuah lembaga hukum yang isinya segala aturan-aturan aneh. Sebagai contoh, siswa telat sekolah, jika telat maka akan dihukum membersihkan WC. Aturan ini menurut hemat pribadi keliru, mengapa tidak ajari saja mereka tentang manajemen waktu dan buat kesepakatan antara siswa dan lembaga, misalnya jika tidak sampai jam sekian, maka enaknya bagaimana ya.
Bukan saya menginginkan terciptanya sebuah ekosistem pendidikan yang brutal tanpa aturan, akan tetapi yang saya inginkan adalah sebuah kesepakatan antar pelaku pendidikan. Kesepakatan antara orang tua dan anak. Memang saya yakin setiap orang tua dan guru menginginkan hal yang baik bagi anak, namun bukankah pintu kebaikan itu begitu banyak bukan? Jalan kesuksesan pun juga banyak, tidak harus anak atau siswa menjadi sesuai apa yang diharapkan. Pangkalnya apapun yang ingin dipelajari siswa, selagi itu masih dalam ranah kebaikan, maka lebih tepatnya dukung dia.
Baca Juga:
Dukungan dan kepercayaan dari orang tua dan guru inilah yang suatu saat dapat meningkatkan motivasi belajarnya. Sayangnya, hal ini jarang dilakukan. Guru dan Orang tua memaknai kegiatan belajar hanya sebatas berangkat ke sekolah lalu duduk, diam,menyimak materi, dan mengerjakan tugas. Sudah bertahun-tahun kondisi ini berjalan, hasilnya pun jauh dari harapan. Mungkin mereka cerdas secara intelektual, namun mereka kosong dalam hal pengetahuan sosial. Padahal kecerdasan intelektual hanya memiliki pengaruh 10% terhadap kesuksesan seseorang selebihnya kemampuan atau kecerdasan emosional inilah yang memiliki peran penting terhadap kesuksesan seseorang.
Orang tua dan guru juga masih berorientasi pada kekurangan siswa, bukan justru pada kelebihan siswa. Sebagai contoh, ketika orang tua atau guru mendapati matematika anaknya lebih rendah daripada nilai olahraga, maka otomatis guru dan orang tua memaksa anak untuk mengikuti pelatihan lebih lanjut terkait materi matematika. Aneh kan? Seharusnya yang harus diasah adalah bidang olah raga yang lebih menonjol pada bakat dan minat anak. Keadaan semacam ini terus berlanjut sampai ke jenjang perguruan tinggi, banyak mahasiswa yang mengambil studi, namun mereka tidak memiliki tujuan, mengapa mereka memilih studi itu. Mereka kehilangan arah dan hasilnya setelah selesai kuliah, mereka kebingungan mencari pekerjaan, padahal peluang dan kesempatan begitu banyak.
Baca Juga: Sekolah Elit Implementasi Sulit, Telaah Terhadap Ekosistem Belajar Yang Menyenangkan
BekelSego adalah media yang menyediakan platform untuk menulis, semua karya tulis sepenuhnya tanggung jawab penulis.